Kamis, 19 Januari 2012

AKHLAK KEPADA ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM


AKHLAK KEPADA ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM


STAIN
 










Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Khusnul Khotimah, M.Ag.



Disusun Oleh :
Nama                     : Iim Rohimah
                              Dania Angsar Praditya
Jur / Prodi             : Dakwah / 3 KPI



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2011
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Berikut ini, penulis persembahkan sebuah makalah yang berjudul, “Akhlak Kepada Allah, Manusia, dan Alam”.
 Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi penulis sendiri. Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau kekeliruandalam makalah ini, penulis mohon maaf, karna penulis sendiri dalam tahap belajar. Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terimakasih, kepada para pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga benar-benar bermanfaat.







                                                                                                                                                                         Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis dan teologis, akhlak dapat memadu perjalan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Tidakah berlebuihan bila misi utama kerasulan Muhammad SAW. adalah untuk menyempurnakan ahlak. Sejarah pun mencatat bahwa faktor pendukung keberhsilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan aklaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
Kepada umat manusia, khususnya yang beriman kepada Allah diminta agar  akhlak dan keluhuran  budi Nabi Muhamad SAW. itu dijadikan contoh dalam kehidupan di berbagai bidang. Mereka yang mematuhi permintaan ini dijamin keselamtan hidupnya di dunia dan akhirat.











BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian  Akhlak
               Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  akhlak  diartikan sebagai  budi  pekerti  atau  kelakuan.  Kata  akhlak walaupun terambil dari  bahasa  Arab  (yang  biasa  berartikan  tabiat, perangai  kebiasaan,  bahkan  agama),  namun  kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal  kata  tersebut  yaitu  khuluq  yang  tercantum  dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai  sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
   
 
 Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi  pekerti yang agung”.  
(QS Al-Qalam [68]: 4). 
  
Sedangkan menurut istilah, para pakar dalam bidang ini mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut;
a.       Ibnu Misawaih
حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلٰى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلَا رُوِيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa meerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b.      Imam Al-Gazali
عِبَارَةٌعَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ الْافْعَالُ بِسُهُوْلةٍ وَيُسْرِ مِنْ غَيْرِحَاجَةٍ اِلٰى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c.       Ibrahim Anis
حَالٌ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدُرُ عَنْهَا الْاَفْعَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرٍّ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلٰى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. (1)
B. Akhlak Kepada Allah
 
               Titik  tolak  akhlak  terhadap  Allah  adalah  pengakuan   dan kesadaran  bahwa  tiada  Tuhan  melainkan  Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang  jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.(2) 
               Itulah sebabnya mengapa Al-Quran  mengajarkan  kepada  manusia untuk    memuji-Nya,   Wa   qul   al-hamdulillah   (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam  Al-Quran  surat  An-Nam1  (27):  93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa, 
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
 
               Makhluk  tidak  dapat  mengetahui dengan  baik  dan  benar  betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah  Swt.  Itu  sebabnya   mereka   --sebelum   memuji-Nya-- bertasbih  terlebih  dahulu  dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai  pujian  yang  mereka  ucapkan  tidak   sesuai   dengan kebesaran-Nya.    Bertitik    tolak   dari   uraian   mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau  Al-Quran  memerintahkan manusia  untuk  berserah  diri  kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
               Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan  manusia  untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:
 (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
 
(1)    Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010. Hal. 2
(2)  Rakhmat Djatnika. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992. hal. 173
               Kata "wakil"  bisa  diterjemahkan  sebagai  "pelindung".  Kata tersebut  pada  hakikatnya  terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang  lain  (untuk  suatu persoalan),  maka  ia  telah  menjadikan  orang  yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam  menangani  persoalan  tersebut, sehingga  sang  wakil  melaksanakan  apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
               Menjadikan  Allah  sebagai  wakil  sesuai  dengan  makna  yang disebutkan   di  atas  berarti  menyerahkan  segala  persoalan kepada-Nya.  Dialah  yang  berkehendak  dan  bertindak  sesuai dengan   kehendak  manusia  yang  menyerahkan  perwakilan  itu
kepada-Nya.
               Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua  maha yang   mengandung   pujian.   Manusia   sebaliknya,   memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika  demikian  "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
               Perbedaan   kedua   adalah   dalam   keterlibatan  orang  yang mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain  untuk  melaksanakan  sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu  telah  dikerjakan oleh sang wakil. Ketika  menjadikan  Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
               Perintah   bertawakal    kepada    Allah    --atau    perintah menjadikan-Nya  sebagai  wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan  kali,  dan  dalam  bentuk  jamak (tawakkalu)   sebanyak   dua  kali.  Semuanya  didahului  oleh
perintah melakukan sesuatu,  lantas  disusul  dengan  perintah bertawakal.  perhatikan  misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61:
 Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.

(3) Ibid. hal. 173
C. Akhlak Kepada Sesama Manusia

            Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
           Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya -- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS al-Hujurât [49]: 2).
          Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS an-Nûr [24]:27).
          Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (QS al-Baqarah [2]:83).
           Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”, (QS al-Ahzâb [33]:70).
          Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. -- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS an-Nûr [24]: 22).
         Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) -- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
A.     Akhlak Kepada Alam (Lingkungan)

          Lingkungan  adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
          Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
          Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
            Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
           Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
          Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
         Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS al-Jâtsiyah [45]:13).
          Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
    















     
BAB III
PENUTUP
Kajian tentang akhlak merupakan kajian yang sangat penting, karena jatuh bangunnya suatu bangsa ataupun masyarakat tergantung pada bagaimana akhlak manusia. Seseorang yang berakhlak mulia akan memenuhi kewajiban terhadap dirinya, memberikan hak kepada yang berhak, dia akan melakukan kewajibannya terhadap Tuhannya, terhadap sesama manusia, dan terhadap alam lingkungannya. Oleh karena itu, secara tidak langsung akhlak yang mulia dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan harmonis di dunia ini, dan menjadi kunci kebahagiaan abadi di akhirat kelak.













DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak, Yogyakarta, LPPI UMI. 1999.
Djatnika, Rakhmat. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010
Syihab, Quraish. Wawasan Ai-Qur’an, Bandung, Mizan.


2 komentar: